“Di saat kita memutuskan untuk bersyukur, di saat itulah pikiran dan emosi kita untuk tetap fokus hanya kepada yang ‘baik.’ saja Pada gilirannya, ia akan mempengaruhi tindakan.”
Saya ingat betul dengan pelajaran di pesantren dulu. Allah berfirman, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras."
Semakin dewasa, setelah bergumul dengan kehidupan, saya semakin paham. Mengeluh kurang, mengeluh sakit; sebagai bentuk ketidaksyukuran, tidak menghasilkan apa-apa. Mengeluh dalam arti lewat dari batas. Emosi negatif berimplikasi pada tindakan yang hampir seirama. Saya kira, tak ada yang bisa tersenyum lama dan senyuman palsu (dibuat-buat) karena sebenarnya ia sedih. Sedikit atau banyak, suasana hati dan emosi mempengaruhi tindakan dan perbuatan.
Sebagai perumpaan, saat tidak bersyukur itu artinya anda sedang tergoda dengan keluhan, ketidaktulusan menerima takdir, memandang ‘rumput tetangga’ yang lebih hijau, dan emosi negatif. Kira-kira, bila kondisi hati demikian, bagaimana kira-kira perilaku yang akan tampak dari dirinya?
Tidak bersyukur sama halnya memperkeruh keadaan. Bila masalah itu satu, maka dia bertambah dan tumbuh tidak hanya menjadi dua, tetapi tiga dan seterusnya. Masalah kecil menjadi besar. Gara-gara urusan sepele, tapi akibatnya runyam dan merugikan banyak pihak.
Bersyukur berarti memberi fokus kepada hal-hal positif saja. Bahkan, dalam kumpulan hal negatif selalu menyisakan positif. Di situlah tugas kita, “ambil sarinya, buanglah ampasnya.” Diri pun selalu akan dalam keadaan vibrasi positif.
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ؛ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Artinya, “Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mu’min sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya,” (HR. Muslim).”
Sabar juga serupa dengan syukur, yaitu memiliki vibrasi tingkat tinggi. Siapakah yang akan mampu mengalahkan orang yang sabar? Saya kira, orang dholim akan lelah. Karena yang diganggu begitu sabar.
Selanjutnya, sebagaimana hadits di atas bahwa ketika ia senang, ia tidak lupa; bersyukur. Dan itu baik baginya. Artinya, ketika ia senang dan lupa bersyukur maka sebenarnya ia dalam penungguan kehancuran. Bukankah alam ini terus berputar? Saat senang, maka ingatlah mungkin setelahnya adalah saat-saat menyedihkan. Saat kaya, maka suatu saat kekayaan itu akan hilang dan akan menghadapi kekurangan. Sangat mungkin, karena apa yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Ada masa kejayaan, dan kesuraman.
Bersyukurlah dengan cara yang kita bisa. Meski itu sederhana. Merasa bahwa apa yang kita terima dari Allah, itu namanya bersyukur. Menggunakan nikmat sesuai kehendakNya, itu juga syukur. Rasakan getaran positif sifat ar-rahmanNya telah merasuk ke dalam hati. Allah Maha Pengasih kepada hambaNya.
Seseorang cenderung sensitif akan kekurangan dirinya dibanding kelebihan. Saat saya mengajar, di sela-sela pembelajaran selalu disisipkan self development. Saya suruh mereka, lihatlah tembok sebelah selatan kalian (samping kanan mereka), ada apa? Serentak jawabannya berbunyi, “retakan tembok”, pak.
Para siswa kompak lebih memperhatikan tembok yang retak dibanding yang tidak. Padahal, retakan tembok yang ada hanyalah seukuran batu bata. Sedangkan sisanya, masih bagus, dan kuat. Perbedaan itu menarik, sayangnya ia terwujud sebagai “kekurangan”, alih-alih sebagai kelebihan. Para siswa lebih fokus kepada yang rusak.
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang cenderung menyadari akan kekurangan dirinya. Kelebihan yang berjumlah lebih banyak tidak mendapatkan perhatian. Tersia-sialah. Ia mengeluh akan kekurangannya, berusaha keras memperbaiki dan memberi perhatian secara berlebihan. Vibrasi negatif terwujud dalam kekecewaan.
Dalam pribahasa arab mengatakan, laa tahtaqir manduka falikulli sya’in maziyyatun. Janganlah kalian menghina selain diri kalian, karena segala sesuatunya memiliki keistimewaan (kelebihan) masing-masing. Keistimewaan ini perlu disadari agar tidak tersia-siakan. Menghitung-hitung potensi yang telah ditetapkan pada diri sendiri. Menghitung berkah di segala sisi dalam kehidupan.
Keberkahan dan nikmat yang dicari dan direnungkan pada gilirannya menjadikan fikiran fokus hanya pada apa yang positif. Baik di dalam diri sendiri maupun di sekitar diri seseorang. Kemampuan melihat sisi positif bahkan pada hal yang seolah pahit bagi kehidupan. Ia pun merasakan hidunya penuh keberkahan dan kebaikan.
Di saat itulah, tidak mungkin secara bersamaan juga merasakan hal buruk. Sayangnya, seseorang lebih fokus kepada beban kehidupan daripada apa yang harus disyukuri.
Seseorang tidak akan mampu merasakan suka cita tanpa merasakan kebersyukuran di dalam hidupnya. Tidak perlu dipaksakan, tetapi mulailah memahami dan menerima dunia ini selalu menyisakan dua hal berpasangan. Di balik musibah, ada berkah. Di balik kelemahan dan kelebihan.
Untuk dapat membantu kebersyukuran, perlu menyadari bagaimana makna saat sesuatunya “menjadi hilang.” Kecenderungan seseorang tak akan memahami nilai sesuatunya hingga ia lenyap dari diri. Ia akan sadar arti sehat saat sedang sakit. Sadar akan arti keberadaan kedua orang tua ketika mereka telah tiada selamanya. Sadar akan hidup, saat telah mati. Sadar akan nilai masa muda saat telah menjadi tua renta dan teman-temannya telah tiada.
Kesadaran ini membawa kepada kebersyukuran. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim).
Rasulullah SAW telah mengajarkan banyak hal dalam pengembangan kehidupan diri seseorang. Baik secara mental, akhlakiyah dan aqliyah. Kebersyukuran sebagai komponen penting dalam vibrasi diri seseorang bisa menyandarkan pada apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.