Sesungguhnya Amal itu Tergantung Pada Niatnya Kunjungi Kami!

Menjadi Diri Sendiri, Meraih Ikigai Diri

Terkadang seseorang begitu takjub dengan pencapaian orang lain; sukses materi, sukses akademik, sukses membangun keluarga, dan sukses dalam definisi yang luas. Kekaguman itu kemudian mendorong kepada fanatisme buta yang mengorbankan potensi individualistik dalam tataran yang lebih mendalam. Betapa banyak seseorang yang membabi buta (menjadi fans) dari seorang tokoh kemudian menggadaikan individualistik dirinya. 

Kekecewaan terjadi, fakta menjadikan dirinya jauh dari apa yang diharapkan. Frustasi dan akhirnya timbullan suatu prasangka; dirinya tidak berbakat di bidangnya. Kenyataannya, tidak ada manusia dilahirkan tanpa memiliki keistimewaannya masing-masing. Di balik apa yang dianggap kelemahan sebenarnya terkandung kekuatan yang luar biasa—barangkali masih belum disadari. Alih-alih menjadi terasah dan berkembang. 

Kita sebagai manusia diciptakan nyaris sempurna. Dengan kompleksitas organ-organ di dalam tubuh, ataupun kemampuan sebagai bekal kehidupan di dunia. kesempurnaan hanyalah milikNya, Sang Pencipta alam semesta. Dari sekian miliar manusia yang tercipta, semua diciptakan begitu unik dan berbeda. Sekalipun pada manusia yang dilahirkan kembar. Bahkan, dedaunan pun meski sama, tidak akan ditemukan yang benar-benar serupa secara sempurna. Ada celah perbedaan kecil yang menjadikan makhluk di alam ini berbeda dari yang lainnya. 

Tomizo Yamaguchi duduk membuat manisan. Ia dikenal sebagai pemilik Suetomi perusahaan manisan. Di setiap produksinya, manisan dibentuk menyerupai bunga yang berbeda atau sedikit berbeda dari manisan yang lain. Meski perbedaan juga terletak pada warna-warnanya. Manisan itu dibuat sejak 1893 untuk dijamu pada upacara-upaca minum teh atau acara-acara lain ala bangsa jepang. 

Mengapa manisan diciptakan berbeda dan unik? Bukankah produksi modern sekarang mendorong agar konstan dalam produknya. Bagaimana mie instan memiliki rasa yang tetap bertahan. Bagaimana rokok memiliki rasa yang juga relatif tetap meski telah diproduksi berulang kali. Asumsi yang bisa ditawarkan, karena keunikan tak bisa terhindarkan. Daun pun dan makhluk-makhluk di dunia tak pernah ditemukan yang benar-benar sama dan serupa, akan selalu menyisakan perbedaan meski relatif kecil. 

Keunikan itulah yang membawa pabrik manisan ini tetap bertahan hingga ke tahun 2024 atau bahkan seterusnya. Jangan-jangan value dan jati diri perusahaan itu terletak pada ‘keunikan pada masing-masing manisan.’

Variasi merupakan salah satu ciri terhebat dari semesta alam. Sangat realistis bila dedaunan, bunga-bungan, hewan-hewan menunjukkan variasi yang berbeda—hiterogen tetapi masih dalam jenis yang sama. Meski ada pepatah yang mengatakan, “Apel jatuh tak jauh dari pohonnya.” Benar, pernyataan itu benar, dan tidak mungkin apel jatuh di bawah pohon durian. Kenyataannya, sekian banyak buah apel yang jatuh atau belum jatuh sulit ditemukan dalam bentuk yang sama persis. Ada yang busuklah, ada yang matang, ada yang sedikit lebih kecil, dan ada yang sedikit lebih besar. Artinya, tak ada guna berusaha sekuat tenaga menjadi dan menyerupai orang lain yang dikagumi. Karena itu tak mungkin terwujud, akan selalu ada perbedaan.

Cara terbaik adalah meniru, dan menyesuaikan dengan diri sendiri; potensi, nilai-nilai, latar belakang dan sebagainya. Meski tekanan batin datang dari berbagai arah. Orang tua mungkin memaksakan anaknya menjadi dokter. Mungkin, dia akan menjadi dokter di sisi luarnya saja, seragamnya. Tetapi, bila jiwanya adalah seni, maka ia tak akan bisa melepas dari individualistiknya sebagai seniman. Maka lahirlah dokter yang juga penyanyi—seni tarik suara. Atau dokter yang nyambi menjadi wirausahawan dengan membuat produk kecantikan. Maka, pada akhirnya yang bertahan adalah apa yang di dalam jiwanya. Yaitu, melekat dalam individualistik. Individualistik bukan berarti tidak peduli sosial, melainkan tidak menafikan potensi diri yang unik pada setiap individu. 


Merawat Individualistik dalam Budaya Kolektif.

Pertanyaan yang kerap muncul, dalam budaya ketimuran hidup kolektif menjadi keniscayaan. Semua dikerjakan untuk kepentingan bersama. Kepentingan pribadi di kesampingkan dan dianggap tidak etis. Kepentingan bersama di atas segalanya. Seringkali, mereka yang memperhatikan individualistik dianggap “blinger”, seenaknya sendiri. Bila terjebak, maka seseorang akan menyerah dan memilih berbaur dengan masyarakat dan “menanggalkan individualistik dirinya.”

Paradogs tak terhindarkan. Tetapi menyisakan jalan keluar. Kita tahu, ada nilai kolektif yang tak bisa diabaikan dalam hidup bermasyarakat. Itu artinya, ikigai dan makna berkehidupan juga terdapat di dalam peranan bermasyarakat. Tak bermasyarakat hidup menjadi hampa dan rawan dari kepuasaan batin. Tapi, agaknya kesimpulan demikian terlalu dini dan dipaksakan. Pasalnya, ikigai yang sesungguhnya bersifat personal dan individualistik. Kepuasaan batin tergantung bagaimana personal masing-masing kita mengelolanya. Guncangan problem keungan keluarga akan ditanggapi berbeda-beda dengan sikap proaktif atau reaktif oleh masing-masing keluarga. Padahal, bisa jadi ikigai salah satu keluarga itu justru terselip dalam kesederhanaan dan himpitan ekonomi. 

Beberapa orang mungkin sangat menjunjung tinggi nilai sosialisme. Apapun dikorbankan untuk orang lain, kepentingan pribadi dibuang jauh-jauh dan dianggap tabu. Ia benar-benar sosialis sejati. Mengalah pada tekanan sosial dan mengorbankan kebutuhan individualistik. Tak apa keluarganya dihina rendahkan, yang terpenting untuk kepentingan bersama. Yang menjadi masalah, golongan “bersama” siapa yang dimaksud? Kalau golongan kriminalitas, atas nama setia kawan dan solidaritas tentu harus pikir-pikir untuk mengorbankan individualistik.

Maka, jalan dari semua perbedaan kepentingan bersama adalah dengan tetap bersosial tanpa meninggalkan individualistik jati diri. Luarnya tetap berseragam layaknya masyarakat di mana perlu menyesuaikan diri, namun jiwa terdalamnya menyadari individualistik dirinya kemudian diasah sedemikian rupa. 

Terdapat kebebasan dalam sebuah gagasan masyarakat yang konformis. Di dalamnya sebenarnya menyimpan lapisan-lapisan dalam kepribadian individual, yang mungkin tak akan tampak di permukaan. Selain itu, pendekatan setiap individu cukup unik. Maka, temukanlah keunikan itu, kemudian diasah dan dipelihara. 

Ikigai diawali dari penerimaan diri secara tulus apa adanya. Pengakuan oleh orang lain kepada diri kita bukanlah tujuan, namun semata-mata hanya sebagai sanjungan sesaat. Masing-masing kita berbeda, berbeda dalam penciptaannya, berbeda dalam caranya, dan tujuannya. Rawatlah perbedaan tersebut.



About the Author

Master of Psychology | Writer | Content Creator | Adventurer

Posting Komentar

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.