Sedari awal keberadaan umat manusia, selalu ada hajat yang harus dipenuhi. Baik sebatas menyambung hidup, atau keinginan hidup. Hajat itu beraneka ragam bentuknya. Untuk itu, sekarang uang bisa digunakan untuk alat tukar nilai demi memenuhi kebutuhan hajat.
Bukan suatu entitas pasti, ia benar-benar tak lebih bernilai daripada diri kita. Hanya lembaran kertas benda mati yang tak bernyawa atau berjiwa. Anehnya, ia bisa mencengkram siapapun yang bernyawa sekaligus yang berakal: manusia itu sendiri.
Gegara uang, nyawa kadang terkorbankan. Kasus pencurian, perampokan, pembunuhan, hutang-piutang dan sebagainya. Terlepas dari akumulasi kuantitasnya. Sahdan, amal kebaikan orang yang mati berhutang akan diserahkan kepada mereka yang dipinjami uang.
Pernah ada yang berbisik, "Kalau kamu ingin tahu watak asli seseorang, lihatlah sejauh mana ia 'amanah' terhadap uang." Artinya, bagaimana ia memposisikan uang dalam hidupnya; alat pembayaran dan hanya lembaran benda mati.
Saat uang beralih fungsi dan menjadi tidak sekedar alat tukar menukar nilai. Maka akan mengganggu kehidupan. Alih-alih saat ia menjadi raja, menjadi istri, menjadi anak, menjadi hewan peliharaan, menjadi kendaraan, menjadi taruhan dan sebagainya. Maka rusaklah fungsi kehidupan secara menyeluruh; sedikit atau tidak.
Sekali kenal dan merasakan nikmatnya uang, semakin tergodalah dia. Pusing kalau lagi keuangan menipis, dan senang saat uang banyak. Kebutuhanya terbiasa tertunaikan dengan perantara uang. Apalagi bila dijadikan tempat pelarian dan berlindung: jadilah dia 'abdul fulus.
Untuk mengobati ketergantungan kepada uang (fulus). Saya berusaha untuk tidak memegang uang berlama-lama dan segera diserahkan ke kas keluarga. Shadaqah yang paling besar pahalanya adalah kepada keluarganya.
Ada kalimat menggugah dan menegarkan diri. Yaitu "Inna sholati, wa nusuki, wa mahyaya wa mamaati lillahi rabbil 'alamin". Makna luar biasa yang menggetarkan jiwa raga.