Sesungguhnya Amal itu Tergantung Pada Niatnya Kunjungi Kami!

Kiai Colt, Muda dan Merakyat

Dalam kesempatan itu, saya duduk menunggu acara dimulai. Para kiai atau hartawan datang dalam jamuan syukuran pernikahan. Pernikahan alam kampung yang tak sebanding ala gedungan. Kiai satu datang, mobil kelas menengah. Dari tempat duduk, saya melihat bagaimana ia disambut. Sebagian berdiri menyambutnya, sebagian tidak.

Jarak antara jalan yang seukuran lebar satu mobil itu 20 meter dari para undangan duduk bersila. Tak ada tirai kain di bawah terop-terop kondangan itu. Hanya tirai pembatas laki-laki dan perempuan. Kiai itu duduk di barisan para kiai. Biasanya, paling depan sendiri menghadap undangan.

Lama berselang, kiai alphard datang. Tak terdengar suara mobilnya. Semuanya berdiri menyambut, seolah telah datang pemimpin mereka yang paling suci. Satu persatu berebutan tashafahah, untuk mendapat barokah. Ia duduk tak jauh di samping kiai sebelumnya.

Kiai ketiga datang, kiai colt. Dari agak jauh, sudah terdengar jelas suara mobil itu. Berhenti sebagaimana mobil lain berhenti. Pintu dibuka oleh khadam, beliau keluar. Hanya tuan rumah saja yang datang menyambut dan bersalaman. Ia dipersilahkan duduk di barisan kiai.

Dan terakhir, dantanglah oran terkaya di desa itu. Dengan mobil aphard terbaru, ia gagah turun. Pakaian mewah ia kenakan, berjas dan berkopiah namun tak berdasi. Semua berdiri, dari tuan rumah, tamu undangan dan para kiai yang pernah dibantu pembangunan olehnya. Semuanya merasa tercengang dengan kekayaan dan kedermawanannya.

Para kiai mempersilahkan duduk di barisan kiai. ia tak canggung duduk bersebelahan. Banyak obrolan di antara mereka sesaat sebelum acara atau setelah dijamu tuan rumah. Entah itu masalah bantuan dana, proyek pembangunan hingga kondisi politik kekinian.

Saya terdiam melihat kondisi itu. Seakan kondisi itu berubah bila menilik kiai dan hartawan di era 1980-an. Kesempatan itu seolah menunjukkan harkat martabatnya kiai yang “alim” tak jauh berbeda dengan hartawan yang “dermawan”. Apa karena kayanya sehingga ia dihormati, atau karena dermawannya?

Saya lebih tertarik untuk melirik kiai colt itu. Unik dan tegas berpendirian. Tidak tergerus tuntutan perubahan zaman; orang kaya lebih dihormati dan diberi panggung. Meski tidak tahu banyak, tapi setidaknya ada pandangan yang harus didiskusikan.

Pantaskah kiai bermobil mewah? Salahkah kiai bermobil colt? Bolehkan kiai berumah bak istana dengan lift di dalamnya? Atau ia cukup berumah gedek yang sebagian besar rumah itu dibangun dari bantuan masyarakat? Pertanyaan yang cukup dipikir, tak perlu dijawab.

Sebut saja kiai colt. Muda, merakyat dan tak menampakkan ke-kiai-annya. Tidak dengan sorban, tidak dengan jubah ataupun tasbih yang sengaja ia “eja” di tengah keramaian. Kesederhaan dalam berpenampilan cukup menyuarakan pelajaran berharga. Isi-isi pidato tak selalu ia gebu-gebukan dengan suara lantang. Ia bersuara dalam tindakan dan uswah hasanah.

Ia memilih tak mengikuti arus gerak materialistik lingkungannya. Bukan tak mampu membeli New Alphard, atau pun istana mewah. Ia hengkang dari itu. Meski begitu, ia tak merasa rendah di tengah kiai-kiai yang hartawan. Ia tetap menghormati; husnudzan saja.

Ia bukan tak tahu, harta bila di tangan orang fasik, atau ahli maksiat akan dipergunakan untuk maksiat. Fasik atau munafik lebih banyak. Tanpak ibadah, dermawan tapi di muka saja. Lain di belakang. Makanya, sebagian kiai membolehkan kaya raya dan atau menjadi penguasa.

Mobil yang dikenal sebagai “delica” itu melenggang di jalan pedesaan. Pabrikan tahun 1969, dengan nama panggilan “bagong” di Jawa Timur, atau “Kol Kampus” di daerah Jogjakarta di tahun 80-an. Sekali lagi, ia ingin tampil sederhana. Mengajak masyarakat berpikir, “harta bukanlah segala-galanya”.

Sekali lagi, paradigma sekarang berubah. Kiai memang perlu berharta untuk menjaga muruah (kehormatan) ilmu dan ahlul ilmi, membebaskan diri dari kepentingan korporat atau pihak penguasa. Kemandirian pesantren yang menjadi maksud dan tujuan.

Berbicara ulama yang kaya, Imam Malik adalah Ulama yagn Allamah dan kaya raya. Di penghujung hidupnya ia tinggalkan karpet dan permadani. Atau lihat saja Imam Abu Hanifah, yang mewariskan ilmunya kepada muridnya yang kaya; Syaikh Muhammad bin Hasan As-Syaiban.

“Anda kagum ini, anda kaget ini. Kalau kamu menyoal orang saleh kaya, ini (harta) saya kasihkan kepada orang-orang fasik biar dipakai judi, selingkuh, maksiat, dan sebagainya,” ungkap Syaikh Muhammad bin Hasan As-Syaiban kepada Imam Syafi’ie yang diutus oleh Imam Malik (gurunya) kepada Syaikh tersebut.

“Salahkah kiai yang berharta? Atau menjadi penguasa?”


About the Author

Master of Psychology | Writer | Content Creator | Adventurer

Posting Komentar

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.