Kepentingan pribadi ataupun akumulasi pribadi yang seolah menjelma menjadi kepentingan umum (masyarakat) sering tak akur. Terutama nilai-nilai agama sebagai sumber kebenaran hati nurani.
Saat di mana seseorang sudah tidak berjuang seorang diri untuk mewujudkan kepentingan pribadinya, ia berkroni. Dalam kebutukan, ia berkroni dan "bagi-bagi hasil". Sinergisitas dalam perjuangan pribadi.
Saat seorang santri, dengan segenap pengetahuannya kembali ke masyarakat. Di situ ia "berperang". Bukan perang senjata ataupun mulut. Karena umumnya, masyarakat tidak membutuhkan pengguruan apalagi penghakiman secara sepihak terhadap apa yang dilakukannya. Alih-alih kebiasaan yang membudaya. Kebiasaan karaokean, gibah ibu-ibu, ditipu-menipu, dicuri-mencuri, didhalimi-mendhalimi.
"Kau berkhutbah dengan koar-koar, hanya menghasilkan kesia-siaan. Nasihat sudah tak mempan", celetuk seseorang waktu itu. Santri harus berjuang senyap. Tanpa kentara agar tak terlihat lebih tinggi; alim, kaya, dan mampu. Berbaurlah! Kau amalkan yang baik, dan terus mencari strategi dakwah.
Mengikuti kata hati, tanpa takut intervensi dari pihak manapun. Memang tak mudah, bahkan membutuhkan perjuangan yang tak ringan. Penentang yang ada tak henti memaksakan kepentingan demi kepentingan pribadi yang menjadi alur akhir cerita.
Beberapa berbisik, "Sekarang itu tidak ada orang 'lurus', yang ada abu-abu". Di mana, saat amplop putih, lebih-lebih amplop cokelat berseleweran, itu pemandangan biasa secara diam-diam. Saya berpikir, rasi wal murtasi harga dirinya tak lebih tinggi dibanding lembaran kertas berwarna merah "itu".
Tapi sudah kadung. Kadung biasa, kadung "tak enakan", kadung takut tak dianggap setia kawan. Ya, bagaimana lagi. Bahkan, urusan "perjuangan agama" tak luput daripada "amplop-amplop" gentayangan.
Lain lagi, sebuah perjuangan kadang menghantam habis diri bahkan keluarga. Dicarikanlah celah kesalahan, untuk kemudian diserang sebagai upaya menutup 'kesalahan'. Menyalahkan orang lain agar dia dianggap sebagai 'sang pembela kebenaran'. Atau, menjatuhkan orang lain agar dia diangkat ke atas.
pandangan semacam ini justru menyuburkan perilaku "koloni kemunafikan". Semboyannya, "Urus saja hidupmu sendiri. jangan menegur orang lain kalau kamu masih najis". Apakah dia tak tahu, "haruskah menjadi malaikat untuk mengajak kebaikan?" atau dia memang sedang menunggu malaikat asli untuk menegur perbuatannya?
Terhadap orang yang berbuat buruk di muka bumi kita tak berhak mengutuk dan membenci. Kita tak pernah tahu, bagaimana akhir perjalanan hidupnya. Kita cukup berjuang; menegur, menasihati dan mendoakan. "Kau hina pendosa, kau gibah terhadapnya, sama halnya kau berdoa agar keburukannya kembali kepada dirimu". Wallahu A'lam.