Entah sejak kapan kategorisasi Kiai terbagi setidaknya menjadi dua; Kiai Besar dan Kiai Ndeso. Biasanya, Kiai Besar merujuk pada seorang kiai dengan jumlah santrinya ribuan. Sedangkan Kiai Ndeso kepada seorang kiai dengan jumlah santri yang sedikit. Selain itu, ada istilah Kiai Langgaran yang perannya hanya sebatas dusun-dusun di pedesaan.
Kategori ini tercipta oleh masyarakat umum untuk membedakan status ke-kiai-an seorang tokoh masyarakat yang dianggap kiai. Entah untuk tujuan apa. Namun, kategori ini akan menyisakan suatu pandangan umum (persepsi) terhadap seorang kiai. Biasanya, Kiai Besar mendapatkan prestise tinggi di khalayak umum sedangkan Kiai Langgaran dianggap biasa saja bahkan mungkin tak terlalu tinggi dirajatnya dibanding anggota dewan di majelis pengajian.
Sebenarnya justru ada Ulama Su’ (Kiai yang berakhlak buruk) dengan Ulama yang berakhlakul karimah. Entah itu Kiai Besar, atau Kiai Ndeso akan tetap dianggap Ulama’ Su’ bila tidak mengamalkan ilmu-ilmunya. Mungkin kategori ini terlalu radikal. Tapi, bagaimana pun tetap saja prasangka baik harus diutamakan. Harus terus berbaiksangka kepada para Kiai yang telah mengajarkan syariat islam.
Masyarakat awam dalam membedakan Kiai Su’ atau tidak bukanlah perkara yang mudah. Bahkan, suatu saat nanti, di akhir zaman Kiai yang Baik akan dibenci oleh kebanyakan masyarakat. Wallahu a’lam. Artinya, kuantitas santri dari suatu Kiai jangan dijadikan patokan untuk merendahkan dan menghujat kiai lainnya. Dhohiriyah tak banyak mewakilkan apapun dari derajat kewalian. Beberapa wali memang ada yang mastur (tersembunyi) yang kadang mungkin dianggap jadab.
Dengan menganggap bahwa derajat seorang Kiai hanya Allah SWT yang mengetahuinya, maka sebagai masyarakat umum mengupayakan berbaiksangka (husnudzan). Ketika suudzan, maka yang terjadi adalah meremehkan dan bahkan menganggap diri lebih baik (sombong). Ketika kesombongan sudah merasuki hati, maka sulit menerima kebaikan dari seorang Kiai. Padahal, hikmah tidak hanya melihat siapa perantaranya, tetapi wadah si penerimanya.
Nasihat para sepuh, “jangan lupa ke guru alif-mu”. Nasihat ini mengajarkan saat suatu saat di mana status keduniawian didapat, jangan lupa dan jangan kebablasan jasa seorang guru yang mengajarkan huruf-huruf hijaiah. Meski mengajarkan huruf-huruf hijaiyah, tetapi tanpa beliau tak mungkin bisa mengaji di pesantren.
Atau saat berpindah ke guru yang lain jangan lupakan gurumu yang pertama. Ia mungkin tak sealim kiaimu yang sekarang, tetapi perjalananmu belajar kepada guru alifmu adalah qadarullah sehingga kau tiba kepada kiai yang sekarang. Perasaan bisa dan lebih mampu akan mengalahkan dan membutakan hati untuk menerima nasihat.
Maka akhirnya, hormatilah para kiai karena beliau-beliau adalah pewaris para nabi. Jangan melihat jumlah santrinya. Karena kau tidak tahu, manakah kiai yang benar-benar termasuk golongan yang baik (bukan ulama’ su’). Kalau mengecap kiai dari jumlah santrinya, maka otomatis seseorang cenderung meremehkan kiai dan guru-guru yang hanya bisa mengajarkan alif, ba’ dan ta’. Bayangkan, bila kamu belajar ke pesantren tanpa tahu membaca alif, ba’ dan seterusnya. Apa yang terjadi?
Semoga tulisan ini menyadarkan arti dari ta’dhim kepada kiai secara kaffah. Bukan melihat status pondoknya, gedung-gedungnya yang besar, santri-santrinya yang berjumlah ribuan. Tetapi, melihat dengan kejernihan hati tanpa merendahkan kiai-kiai yang dianggap Kiai Ndeso atau Kiai Langgaran. Karena kedudukan kiai itu hanya Allah yang berhak menilainya, bukan kedudukan dari pada kedudukan duniawi.
Ketika Allah mencitai seorang sholeh, entah itu kiai atau tidak, maka Allah SWT menyeru seluruh penduduk langit dan bumi untuk mencintainya juga. Belajarlah dari Kiai Moh. Kholil Bangkalan, meski jumlah santrinya tak sebanyak Kiai Besar sekarang, ia dapat melahirkan Kiai-Kiai Besar. Wallahu ‘alam.