Apa yang sering kita dengar, saat musibah dating meninpa diri kita? Apa yang mereka katakan? “Sabarlah, musibah pasti akan berlalu”. Begitulah kata-kata penghibur duka cita, seakan-akan, dengan mantra sakti musibah akan terselesaikan. Apakah sesederhana yang mereka bayangkan? Kesederhanaan yang hanya yang dibalut dengan ketidak-sunguhan memberikan simpati. Palsu sok simpati, hanya sekedar omong kosong, bantulah mereka dengan pangan, pendidikan, dan kesehatan. Jangan hanya pintar mewiridkan mantra “sabar, sabar dan sabar.”
Agenda banjir sudah menjadi rutinitas tahunan bagi ibu kota Indonesia, Jakarta. Setiap musim penghujan tiba, tentu selalu ada daerah-daerah yang terkena korban banjir ini. Baik secara berjemaah dengan wilayah lain, maupun secara bergiliran. Karena terbiasa, para korban pun menyikapinya dengan penuh kebijaksanaan. Tidak seperti kebiasaan para koruptor, yang hanya membuat orang lain semakin sengsara, dan justru juga akan membuat dirinya sendiri semakin jauh dari kediriannya.
Komunitas pencita alam, maupun pencinta kehijaun sama-sama berdalih, karena “kebiasaa” manusia membuang sampah sembarangan, jadilah Jakarta kebanjiran. Ungkapan tersebut juga diacugi jempole oleh para artis. Para pejabat agama berpandangan terbalik, kerusakan yang terjadi itu tidak lain akibat perbuatan tangan manusia itu sendiri. Tangan yang jahil dengan dirinya sendiri, kaki yang jahil akan dirinya sendiri. Mata yang buta akan dirinya sendiri.
Teringat ketika kami dahulu masih sedang belajar di pesantren. Di tempat umum; Purum (dapur umum), kelas-kelas, kamar mandi dst. Selalu ada papan reklame kecil-kecilan menyuarakan, “annadhza fatul minal iiman”, kebersihan itu sebagian dari iman. Berarti yang tidak bersih imannya perlu dipertanyakan? Tidak seperti sekarang, tempat-tempat umum diperkotaan dikotori dengan papan reklame untuk kepentingan politik, bahkan tak segan-segan ada yang mengatakan, “Hanya dalam waktu 2 jam Anda akan mendadak kaya”. Lah, memangnya kaya itu sulap? Semakin mudah sesuatu didapatkan, justru akan semakin mudah pula hilangnya.
Lucunya penataan perkotaan yang mungkin sering kita saksikan di kota-kota besar, pada khususnya. Jika hal ini diabaikan, kita hanya bisa membayangkan apa yang sedang terjadi di Jakarta. Bukannya malah kami memojokkan Jakarta, tanpa musibah ini, kita tidak akan memahami makna di balik setiap musibah.
Sampah memang hal sederhana, kesederhanaan yang jarang orang memikirkannya. Karena sampah, itulah ibu kota Indonesia ini tenggelam dalam genangan. Bukan sampah itu sendiri yang patut dikambing hitamkan, tapi karena terus-menerus sampah dibuang tidak pada tempatnya. Hukum terus-menerus inilah yang kemudian melahirkan sungai-sungai yang lengkap dengan sumbatan-sumbatan. Air menguap, menyerang siapa pun.
Penangan hal kecil itulah yang tak patut untuk disederhanakan sesederhana mungkin. Memusatkan perhatian akannya suatu bentuk solusi paling tepat. Misalnya, membudayakan masyarakat Jakarta untuk membuang sampah pada tempatnya, menyediakan tempat pembuang sampah akhir yang memang sudah direncanakan untuk jangka panjang.
Kalau kita sendiri sudah lalai dengan diri sendiri, hingga kita tidak peduli dengan lingkugan kita, tidak peduli di mana kita berada. Bagaimana mungkin lingkungan akan peduli dan bersimpat kepada kita? Toh walau pun sekarang berbelas meminta maaf kepada Alam, sudah terlambat untuk dilakukan. Meminta maaflah pada diri kita sendiri, dengan menyadari bahwa semua ini adalah masalah kita bersama; bukan masalahmu dan bukan masalahku.
Saya kira, kita semua bukan seperti anak kecil lagi yang hanya bisa menyalahkan orang lain. Salahkan dulu diri kita sebelum menyalahkan orang lain. Berilah solusi, dan laksanakan. Jangan hanya ngomong dan berjanji doang! Laksanakan dari diri kita, dari hal yang paling sederhana, bahkan lebih sederhana dari sekedar apa yang kita pikirkan. Awal yang baik akan melahirkan akhir yang baik pula.
Tak usahlah muluk-muluk membangun gorong-gorong secanggih apa pun. Jika kita tidak menyadri siapakah kita? Apa yang telah kita perbuat? Dan bagaimana kebiasaan serta jangka panjang kita? Tidaklah akan ada guna teknologi secanggih apa pun. Apalagi, tergiur dengan kesenangan semu, limbah-limbah dibuang begitu saja di aliran anak sungai.
Semoga, kita lebih bijaksana menggunakan kebiasaan kita pada jalurnya, membuang sampah-sampah pada tempatnya. Termasuk sampah pikiran yang seringkali menghantui siapa pun orangnya. []