"Jangan bosan menjadi orang jujur kepada diri sendiri. Karena kejujuran pahit rasanya, mahal harganya dan manis buahnya".
Selalu terngiang-ngiang dalam pikiran sebuah ungkapan dari seseorang yang saya dulu kagumi. Namun, sekarang saya apatis dan terkadang mulai "menemukan" bukti-bukti" dari kebenaran perkataannya. Tiga tahun lalu, ia mengatakan, "Tidak ada orang yang benar-benar jujur di zaman sekarang".
Saat itu, sebagai seorang yang pernah nyantri jelas secara keras hati menolak segala ketidakjujuran. Nilai-nilai kejujuran sudah ditanam dan didogma secara kuat, "Qulil Haqq wa lau kaana murran". Ungkapan sederhana sulit dikatakan. Atau petuah sesepuh, "Sopo seng jujur, bakal mujur" (siapa yang jujur maka akan beruntung).
Apakah jujur sebuah sekedar pilihan belaka? Misalnya, seseorang mengatakan pada dirinya "hari ini saya putuskan untuk memilih menjadi orang jujur". Di sisi lain, karena kejujurannya ia terpaksa harus dipecat dari pekerjaan sebagai satu-satunya keluarganya dapat hidup.
Atau kalau boleh jujur, tentu bapak-bapak menjadi ancaman serius dalam keretakan rumah tangganya. Coba saja si bapak suruh jujur saja ke istrinya, wah bisa bayangkan apa yang akan terjadi? Tidak jujur (berbohong) artinya ada sesuatu yang disembunyikan.
Artinya, kejujuran adalah peperangan batin, bahkan harga diri. Dibutuhkan pengorbanan ego atau nafsu ananiyah. implikasinya, ia harus siap menjadi malu, terhina, bahkan bisa mengancam nyawa. Tapi yakinlah, saat kejujuran dijunjung tinggi, mungkin akan terhina yang dibaliknya ada kemujuran luar biasa.
Saat seseorang mengikuti hawa nafsunya, keinginan dan ketamakan maka lahirnya kebohongan-kebohongan daripadanya. Ia terpaksa berbohong agar urusan tidak gosong. Berbicara bersilat lidah, agar urusan menjadi mudah. Ia tak segan tempel sana tempel sini dengan selembar amplop.
Siapakah yang salah? Saat anak kecil berbohong, karena ia takut kalau jujur akan ditempeleng oleh ayahnya. Saat pelanggar lalu lintas lampu merah berkata jujur karena menerobos marka, terburu-buru ibunya sakit. Ia akan diperas oleh oknum atas kesalahan "yang terpaksa". Atau seseorang yang secara lantang berkata jujur atas kebejatan para kaum elit politik, ia akan disulitkan hidupnya.
Atau jangan-jangan proses menjadi berbohong lebih terkondisikan daripada proses menjadi jujur. Dibuatlah jebakan, terjebaklah dia, akhir-akhirnya "Pilih damai" dengan bagi-bagi hasil di belakang meja. Atau bisa saja tak terjebak, ia hanya melanggar atura-aturan yang dibuat seolah-olah pro rakyat, tapi nyatanya memeras di belakang. Sengaja regulasi yang ada dibuat rumit untuk memuluskan maksud dan tujuan.
"Saya bantu, tapi jangan lupa"; dana aspirator, dana keamanan, dana administrasi, salam tempel, dan apalah, terserah. Kalau tidak begitu, ya sulit. "Tak mungkin saya bantu".
akhir cerita, jujur kepada orang lain memanglah tak mudah. Menjadi pemimpin yang amanah bukan perkara gampang. Harus ada perjuangan dan kerseriusan berbalut tafakkur agar selamat. Lebih-lebih jujur kepada diri sendiri. Karena ancaman sejati bukanlah orang lain, namun sejatinya musuh adalah diri sendiri. Berhasil jujur kepada diri sendiri dengan memaksimalkan ihsan kepada Allah, maka akan beruntung. Meski terlebih dahulu tanpak tak terlihat, terhina dan tak dianggap.