Sesungguhnya Amal itu Tergantung Pada Niatnya Kunjungi Kami!

Melek Politik, Meski Awam


“Jangan dekat-dekat politik, nak. Politik itu najis, buas,.. Tapi, tapi… daripada rusak oleh orang buruk, lebih baik terjunlah ke politik.”

Siang itu di jam istirahat bekerja, dua orang teman berbicara panjang-lebar rusaknya perpolitikan tahun ini. Menurut salah satu mereka, ada indikasi “kecurangan pemilu” yang masif. Meski lawan bicaranya adalah salah satu anggota KPP*. Tak cukup lama, perbincangan mereka begitu mendalam. Saling memuji atau juga membongkar kebobrokan paslon lainnya. Gosip analitis bapak-bapak kantoran. 

Tak lama, tibalah seseorang lainnya. Ia duduk dan disapa oleh salah satu bapak tadi. “Kemana nduk?” tanyanya. Sebagai yunior ia menjawab polos, “Ngga pak”. Ia pun terpaksa duduk dan bergabung dalam majelis gosip-pilpres. 

“Kamu dapat berapa?” tanyanya. Yunior terdiam. Pertanyaan itu muncul kembali, “Amplopnya Cuma 150, kalau desa sebelah hanya 100.” “Tersenyumlah si bapak-bapak.” 

“Carilah pemimpin yang tahu agama, peduli agama, yang cerdas” ujar bapak yang satunya. Dua lainnya terdiam. Kemudian tertawa tertahan. Mereka sudah membongkar kebobrokan masing-masing paslon. 

Apa yang kita dapatkan dari kondisi ini? Menggosip dengan menemukan kesalahan orang lain dan menganggap diri lebih baik dibanding mereka—yang digosipi. Maka sebenarnya, dalam kondisi seperti itu seolah penggosip berada lebih suci dan tinggi dibanding dengan mereka yang dianggap buruk dan culas. Masalahnya, mereka membandingkan kebaikan diri mereka (penggosip) dengan keburukan mereka (yang digosipi). Tidak adil kan? Adakah yang bisa menjamin mereka (penggosip) tidak memiliki kebobrokan? Saya kira tidak, karena mereka juga “manusia”; butuh uang dan hidup. Soal bertahan hidup, semua jalan akan ditempuh meski itu salah dalam etika religi.   

Sekali lagi, ini tentang kehidupan; yaitu antara hidup atau mati, malu atau dihormati. Jadi, menggosip tak ubahnya menghakimi akan perilaku seseorang. Bayangkan, bagaimana perasaan Anda saat tahu bahwa seseorang telah secara terbuka menggosipi diri Anda? Vebriasi negatif terpancar. Mood positif kemudian bertransisi menjadi negatif seketika—ini manusiawi. Karena pada dasarnya setiap manusia ingin disanjung dan dianggap baik. 

Bersikap terbuka memang bukan pilihan mudah, lebih-lebih bagi kaum idealis. Mereka tak rela kebobrokan terjadi di negara kita. Atau apapun dari keburukan yang menimpa masyarakat. Tapi bagaimana, kita berhadapan denga manusia. Yang pasti memiliki kebobrokan. 

Bersikap terbuka bisa menerima kondisi yang memang serba mungkin. Setidaknya menghindari kerusakan yang lebih besar meski perih memilih kerusakan yang lebih kecil. 

“Jadi, jika kita berbohong kepada pemerintah, itu namanya kejahatan. Saat mereka berbohong, itu namanya politik.” – Bill Murray.

Agar vibrasi diri tida terkontaminasi oleh hal-hal yang kita sebut “kebobrokan.” Maka, ambillah sisi positifnya. Kita tak mungkin pernah selesai menghadapi ketimpangan, namun setidaknya menyadari untuk bisa mengurangi-mencegah daripada itu semua. Perlunya mengambil bagian dari perpolitikan negeri ini, meski panas-najis tetaplah menjaga batas suci. 

Selain itu, kepositifan yang tercelup dalam najis-politik perlu disaring oleh objektivitas memandang. Buya Hamka pernah berkata, “Seringkali rasa sayang dan benci menghalangi keadilan. Mata-musuh gelap menimbang kebaikan dan mata-kawan buta melihat kesalahan.” Kesempingkan terlebih dahulu; status kawan, kekeluargaan atau ras dan agama. Melihat mereka dalam kaca mata perilaku semata. Tanpa distraksi; kekeluargaan dan sebagainya. Yang buruk, jadikan kaca. Kebaikan yang baik, contohlah dan tirulah. 

Saya rasa, vibrasi seperti akan lebih positif. Daripada bertengkar hanya karena perbedaan pilihan politik, atau rusak tali silaturahim. Menunggu “amplop” tak ada guna, kita memiliki harga diri dan hati nurani untuk memilih siapa yang dipilih.

Kemudian saya menjadi teringat. Salah satu pasien RSJ yang menjalani Art Theraphy. Lukisan menggambarkan idealisme dan pemberontakan akan penguasa. Tertulis judul “AKU” dan diakhiri kata penutup “Reformasi Total”. Tertanggal, “Mei Kelabu 98.”

Ia menuliskan; 

AKU
Aku tertidur di tengah zaman, 
di dalam tidur Aku bermimpi
tentang dunia kehampaan tiada ujung
setelah terbangun kudapati zaman 
telah berubah tiada tuan
keadilan pun sirna tiada bekas
Kudapati darah-darah DEMONSTRAN 
Tercecer di sela-sela serdadu fanatik
Tentang kekuasan dan senapan
Aku takut tapi dendam
Aku kalut tapi berdebar
Kini aku seperti burung, lepas dari sangkar
Walau lapar aku damai …!
_Mei Kelabu 98_

Puisi dari seorang pasien RSJ. Mereka banyak dilabeli sebagai “yang tak waras”. Atau, “jangan-jangan kitalah yang tak waras?’. Mereka memiliki hati, kita buas-kejam karena perbedaan piliha. Semoga lekas damai. 


About the Author

Master of Psychology | Writer | Content Creator | Adventurer

Posting Komentar

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.