“… kesadaran itu signifikan secara fungsional karena memberikan kita kesenangan indrawi—sebuah alasan untuk hidup.”
--Nicholas Humphrey, Soul Dust: the Magic of Consciousness.
Ia mengatakan bagaimana ritual makanan terakhir para tahanan sebelum dieksekusi mati di USA. Para tahanan diberikan hak istimewa untuk memilih menu makanan terakhir mereka. Ada banyak aneka menu yang menjadi pilihan masing-masing tahanan. Dari sini dapat dipahami, mereka memikirkan secara mendalam santapan terakhir hidup mereka. Ini kesenangan indrawi yang didapatkan dari makanan. Contoh sederhana ini menunjukkan arti menghadirkan diri di tempat dan waktu sekarang.
Dalam kesadaran kontemporer, kualitas-kualitas pengalaman indrawi disebut “qualia”. Ia merupakan properti fenomenologi dari pengalaman indrawi; seperti dinginnya air, hembusan angin, dan bunyi alam. Orang Jawa mengatakan sebagai “’ilmu Roso”, roso sejatine roso. Menghadirkan kesegenapan jiwa dalam pengalaman indrawi.
Kualitas qualia hanya sebatas pengalaman indrawi bila tanpa dipautkan oleh kesadaran holistik akan kehambaan diri. Bahwa, apa yang tanpak secara indrawi: penglihatan, pendengaran, perasaan, rasa dan sentuhan semua berasal dari kekuatan yang Esa. Allah SWT pencipta apa yang ada di dunia. Wallahu kholaqokum wa maa taf’alun. Allah yang telah menciptakanmu sekalian dan apa yang kalian perbuat.
Maka, saat makan selain kesadaran akan menghadirkan diri sepenuhnya, maka perlu sadar Allah Maha Pengasih dan Pemberi Rejeki. Ia menyayangimu dengan segenap hati, tidak membiarkanmu sedih atau kecuali ada hikmah yang tak mampu dipikir logika. Ia selalu bersamamu, di hatimu di manapun dan kapanmu selama kau memantaskan diri membersamaiNya.
Aktivitas diri sehari-hari dengan kesadaran seolah-olah diperhatikan oleh Allah adalah muroqobah—Dia melihat segenap gerak-gerik seseorang. beraktivitas tidak lagi terpaku kepada kesenangan indrawi dan pengalaman bathin duniawi. Akan tetapi, bermuroqobah mengisyaratkan pengalaman kesadaran puncak bahwa dunia ini tak ada yang abadi. Yang lebih penting adalah kehidupan ukhrowi nantinya.
Kesenangan, tak semua senang secara menerus. Artinya, kesenangan memiliki sumbu kapan dimulai dan kapan berakhir. Sebagaimana kesedihan, umur, dan apapun di dunia ini. Akan berakhir menjadi “tidak ada”, meski berawal dari “diadakan”.
Di saat itulah, ia bebas dari jeratan kepentingan ego diri. Bahkan, penulis Buku The Pillow (1002 M), Sei Shonagon, mengatakan untuk mempraktikkan kesadaran diri perlu menghadirkan jiwa raga di tempat dan waktu sekarang dan membebaskan diri dari keterikatan duniawi. Sei—yang non islam—memahami bahwa duniawi tak perlu dikejar dan diberi kesadaran.
Dalam sebuah esai, Sei memberi perhatian yang sangat detail pada hal-hal kecil dalam hidupnya. Ia menuliskan;
“Hal-hal yang lucu, wajah seorang anak yang dilukis pada buah melon. Seekor anak burung pipit melompat-lompat ke arah sumber arah pekikan mirip tikus. Seorang anak merangkak dengan cepat, menemukan serpihan kecil tanah, dan mencubitnya dengan jemari lentik. Lalu menunjukkan pada orang-orang dewasa.”
Tak ada kata-kata megah untuk mengdeskripsikan suasana pengalaman dirinya. Ia hanya menaruh perhatian pada hal kecil apa yang sedang dialaminya. Kesadaran ini masih bersifat indrawi yang jauh dari arti kesadaran akan dirinya sebagai hamba dan makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Tetapi, cukup memberikan jalan untuk senantiasa hidup dalam kesadaran akan lingkungan.
Hiduplah untuk duniamu, seolah-olah hidup seribu tahun lagi. Hiduplah untuk akhiratmu seolah-olah kau akan mati esok hari. Dengan begitu etos kerja menjadi lebih terpelihara. Mental dikuatkan oleh kesadaran bahwa “ini semua hanyalah dunia.”
Keterlepasan daripada duniawi membawa kepada kebahagiaan. Dunia akan berharga bila semua dihaturkan untukNya. Karena pada dasarnya, manusia diciptakan untuk beribadah. Bukan hanya menghabiskan dunia ini, bersenang-senang dan berfoya-foya.
Mengalami kehidupan sehari-hari dengan kesadaran indrawi dan ukhrawi. Membawa suatu hal baru. Kesadaran indrawi tanpa melahirkan pemaknaan terhadap pengalaman itu sendiri, pengalaman ukhrawi—dengan kesadaran muroqobah—menghadirkan optimisme masa depan.