"Lakukan saja apa yang menjadi tugasmu" – Anonim
Gerombolan pemuda duduk di tepian jalan malam hari itu. Anggota DPR yang tidur waktu rapat di siaran berita menjadi viral, ataukah para pejabat yang berompi layaknya rentenir jalanan. Santri yang sudah tak berkopiah dan bersarung, atau wanita yang sudah tak berkerudung, siswa yang tak bersekolah atau guru yang tak mendidik.
Bisa bayangkan, siswa yang tak merasa sebagai siswa. Orang tua tak merasa sebagai orang tua. Guru tak merasa sebagai pendidik, atau manusia yang tak merasa sebagai manusia yang berhati. Maka kehidupan akan menuju kehancuran. Jangan-jangan ini yang menjadi salah satu tanda berbuat kerusakan di atas muka bumi. wa laa tufsidu fil ardhi ba'da islaahiha.
Banyak yang mengeluh, siswa sekarang tidak seperti siswa dulu tahun 70-an. Sebagai pembandingan, betapa merosot tajam moralitas dan perilaku pemuda sekarang yang sebagian besar adalah siswa. Bagaimana bila ada yang bertanya, "Guru sekarang tidak seperti guru-guru sepuh terdahulu?" Pasti akan dibilang "Kurang ajar".
Saat keguruan awalnya sebagai lambang pengabdian, tetapi berubah menjadi lambang pekerjaan dan penghidupan. Ada uang, ada kualitas; gurunya dan sekolahnya. Mau pendidikan yang "sip", carilah yang mahal. Guru berkualitas mana tahan "sekedar menjajal" mendidik di pelosok pedesaan. Sadar harga dirilah, kuliah mahal-mahal, cumlaude lagi, masak ngajar di sekolah desa.
Bahkan ada yang berbisik "di sebelah": sejak bantuan-bantuan kepengajaran masuk ke madrasah pesantren, keikhlasan gurunya semakin hilang, barokah terjerabut. Benar! gedung dan fasilitas top-topan, tapi akhirnya para alumninya tak karuan: mengukur diri dengan uang. Lagi-lagi, "Guru tak sadar dirinya adalah guru; ia mendidik karena dipekerjakan di profesi guru." Mungkin akhirnya ia akan dibilang sebagai "Tukang Ngajar". Pahlawan dengan tanda jasa.
Suatu ketika, di warung kaki lima bertemu kepala desa suatu daerah. Ia berkata ke orang yang baru di kenalnya di sebelahnya, "Saya kepala desa termiskin di Kota Antah Berantah". Tambahnya lagi, "Biar pun saya miskin yang penting saya membantu kepada masyarakat saya", dengan bangganya ia berkata demikian. Tapi hatinya, tak ada yang benar-benar tahu. Lagi-lagi, Aristokrat itu adalah tukang pelayan masyrakat, baru berjalan kalau ada uangnya dan ada "udangnya" yang bisa ditangkap di balik "batu."
Saat guru tak menjalankan tugasnya menjadi pendidik, saat aristokrat tidak menjalankan tugasnya sebagai pemimpin yang diberi amanah oleh masyarakat miskin. Apa yang akan terjadi? atau yang lain, orang tua yang tak merasa bertanggung jawab terhadap anaknya, anak yang tak merasa bertanggung jawab kepada orang tuanya. Apa yang akan terjadi?
Jalanilah apa yang menjadi tugas masing-masing kita. Syukurilah apa yang menjadi bagian milik kita. Meski rumput tetangga lebih indah. Lagian pula, tak semua yang berkilauan itu adalah emas. Jangan menilai sesuatu dari kulitnya.